NASEHAT
DARIKU, UNTUKKU??
“ kalau tak seperti ini, ibu tak akan pernah memperhatikanku” aku
pun memberontak, seakan ibu tak mau mengerti keadaanku.BRAKK...suara pintu
kamar saat aku memasukinya, sprei bantal yang awalnya kering pun sekejap
berubah menjadi lautan gelinang air mata, “andai kau masih ada, aku kan
memelukmu erat dan tak pernah kulepas, sampai mentari pagi yang membangunkan,
ku rasakan tangan mungil ini masih kau genggam, dan saat mata ini terbuka,
kulihat senyummu menyambutku lalu berkata” sudah pagi, nak”.”
Seperti biasa, jadwalku untuk ke sekolah. Pagi ini embun
menyambutku saat melewati tepi sungai
itu, meski sederhana, namun banyak orang yang pergi ke tempat itu bersama
teman, adik, kakak bahkan ibu dan ayah mereka.
“ayah..”. Tak terasa pipi ini basah saat menyebutnya, “ ah..kau sudah 18 tahun
reina, kau sudah tak pantas dibilang yatim, jadi bersikaplah dewasa”. Bantahku. Tak mau
berlarut-larut, langkah kaki kupercepat agar segera sampai ke tempat aku
mendapatkan ilmu. Sampai dikelas, teman-teman menghampiriku seakan menyayangkan
prestasiku “ rei, kok bisa sih?” kata dina. “bertahun tahun daftar juara satu
di kantor selalu terisi namamu, tapi sekarang... sepuluh besar saja tak
kudapati namamu disana, ayolah reiii....kamu kenapaa??” sahut vivi, teman yang
terkenal cerewet, tapi aku yakin dia sangat sayang padaku. Tak perlu fikir
panjang, sehelai kertas kukeluarkan dan tak kuhiraukan kicau an teman-temanku,
aku bergumam dalam hati “maaf kawan, aku sudah kenyang membahas masalah itu
dengan ibuku tadi malam, dan aku tak mau menyakiti hati kalian dengan
perkataanku yang kasar untuk menjawab pertanyaan kalian.” Kutundukkan kepalaku
di hadapan guru yang baru masuk kelas, terdengar suara kaki yang semakin dekat,
dekat, dekat hingga berlabuh tepat di depanku. Dia berkata “aku tau kau sedang
kacau”, tak ku hiraukan perkataannya, dia pun melanjutkan perkataannya “ayahmu
kan”. pena yang awalnya aku genggam dengan santai berubah dengan genggaman yang
erat lau terlepas begitu saja, hingga akhirnya terjatuh dari mejaku. Ku arahkan
pandangangku perlahan hingga menatapnya. Ia tersenyum sambil memberikan alat
tulis yang terjatuh tadi dan duduk disampingku. Dia menceritakan kisah
hidupnya, orang tuanya cerai saat dia masih duduk dibangku sekolah dasar, anak mana yang
tidak terpukul dengan keadaan sepertinya, belum lagi bagaimana nasib adik
perempuannya yang masih baru bisa berjalan. Bertahun tahun dilaluinya, senyum
adik perempuannya itu yang membuatnya kuat menghadapi kondisi tersebut. “ aku
tau aku jauh beruntung darimu, keluargaku masih utuh, hingga maut yang
memisahkan ayahku dari bidadarinya, yaitu ibuku”. Sahutku. Dia pun menjawab ”lalu?
Mana reina yang dulu? reina yang selalu dengan bendera keWOLESan nya, reina
yang mengajarkanku untuk tidak terputus oleh rahmatNYA, reina yang selalu
bersandar harap padaNYA...dan bukankah kesedihanmu hanya akan membuat kesedihan
pula pada ayahmu?”.
Memang semua kata-kata itu sering sekali aku ucapkan untuk
teman-temanku, dan baru kali ini nasehat itu untuk ku. Aku pun tersenyum dan
berjanji akan ta’at pada ibu dengan
mengejar prestasiku lagi, sesuai dengan pesan terakhirmu ayah..”TA’ATOIBUMU,
DEMI AKU”.(UKHcube...)
No comments:
Post a Comment