Thursday, October 16, 2014

NASEHAT DARIKU, UNTUKKU??
kalau tak seperti ini, ibu tak akan pernah memperhatikanku” aku pun memberontak, seakan ibu tak mau mengerti keadaanku.BRAKK...suara pintu kamar saat aku memasukinya, sprei bantal yang awalnya kering pun sekejap berubah menjadi lautan gelinang air mata, “andai kau masih ada, aku kan memelukmu erat dan tak pernah kulepas, sampai mentari pagi yang membangunkan, ku rasakan tangan mungil ini masih kau genggam, dan saat mata ini terbuka, kulihat senyummu menyambutku lalu berkata” sudah pagi, nak”.”
Seperti biasa, jadwalku untuk ke sekolah. Pagi ini embun menyambutku saat melewati  tepi sungai itu, meski sederhana, namun banyak orang yang pergi ke tempat itu bersama teman, adik, kakak bahkan ibu dan ayah  mereka. “ayah..”. Tak terasa pipi ini basah saat menyebutnya, “ ah..kau sudah 18 tahun reina, kau sudah tak pantas dibilang yatim, jadi  bersikaplah dewasa”. Bantahku. Tak mau berlarut-larut, langkah kaki kupercepat agar segera sampai ke tempat aku mendapatkan ilmu. Sampai dikelas, teman-teman menghampiriku seakan menyayangkan prestasiku “ rei, kok bisa sih?” kata dina. “bertahun tahun daftar juara satu di kantor selalu terisi namamu, tapi sekarang... sepuluh besar saja tak kudapati namamu disana, ayolah reiii....kamu kenapaa??” sahut vivi, teman yang terkenal cerewet, tapi aku yakin dia sangat sayang padaku. Tak perlu fikir panjang, sehelai kertas kukeluarkan dan tak kuhiraukan kicau an teman-temanku, aku bergumam dalam hati “maaf kawan, aku sudah kenyang membahas masalah itu dengan ibuku tadi malam, dan aku tak mau menyakiti hati kalian dengan perkataanku yang kasar untuk menjawab pertanyaan kalian.” Kutundukkan kepalaku di hadapan guru yang baru masuk kelas, terdengar suara kaki yang semakin dekat, dekat, dekat hingga berlabuh tepat di depanku. Dia berkata “aku tau kau sedang kacau”, tak ku hiraukan perkataannya, dia pun melanjutkan perkataannya “ayahmu kan”. pena yang awalnya aku genggam dengan santai berubah dengan genggaman yang erat lau terlepas begitu saja, hingga akhirnya terjatuh dari mejaku. Ku arahkan pandangangku perlahan hingga menatapnya. Ia tersenyum sambil memberikan alat tulis yang terjatuh tadi dan duduk disampingku. Dia menceritakan kisah hidupnya, orang tuanya cerai saat dia masih  duduk dibangku sekolah dasar, anak mana yang tidak terpukul dengan keadaan sepertinya, belum lagi bagaimana nasib adik perempuannya yang masih baru bisa berjalan. Bertahun tahun dilaluinya, senyum adik perempuannya itu yang membuatnya kuat menghadapi kondisi tersebut. “ aku tau aku jauh beruntung darimu, keluargaku masih utuh, hingga maut yang memisahkan ayahku dari bidadarinya, yaitu ibuku”. Sahutku. Dia pun menjawab ”lalu? Mana reina yang dulu? reina yang selalu dengan bendera keWOLESan nya, reina yang mengajarkanku untuk tidak terputus oleh rahmatNYA, reina yang selalu bersandar harap padaNYA...dan bukankah kesedihanmu hanya akan membuat kesedihan pula pada ayahmu?”.

Memang semua kata-kata itu sering sekali aku ucapkan untuk teman-temanku, dan baru kali ini nasehat itu untuk ku. Aku pun tersenyum dan berjanji akan ta’at pada ibu dengan  mengejar prestasiku lagi, sesuai dengan pesan terakhirmu ayah..”TA’ATOIBUMU, DEMI AKU”.(UKHcube...)   

No comments:

Post a Comment